Kamis, 29 November 2012

Fakta


Berbicara tentang sejarah kita tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang fakta. Ini tidak lain karena fakta merupakan unsur utama dalam penyusunan sejarah. Tanpa fakta tentu saja sejarah tidak mungkin disusun. Dalam hubungan ini yang perlu kita permasalahkan ialah : apa sebenarnya fakta tersebut ? Tetapi kiranya lebih penting pertanyaan : apa dasar kita untuk menganggap suatu fakta itu benar adanya sehingga sejarah yang kita susun juga adalah sejarah yang benar? Kelihatannya dikalangan umum, bahkan diantara para sejarawan sendiri terdapat banyak pengertian tentang apa fakta sejarah itu sebenarnya. Seperti apa yang dikemukakan oleh Patrick Gerdiner, bahwa dalam pemakaian sehari-hari pada dasarnya ada dua pengertian pokok yang diberikan pada istilah fakta, yaitu fakta dalam pengertian :

(1) “apa yang benar-benar telah terjadi”
(2) fakta sebagai “bukti-bukti dari apa-apa yang telah benar-benar terjadi”.

Kedua pengertian fakta ini menurut Gardiner bukanlah pengertian yang tepat, bahkan menyesatkan.. Dalam hubungan ini kita sadari bahwa setiap sejarah dimulai dengan apa-apa yang benar-benar telah terjadi di waktu yang lampau, yang mana hal ini biasa kita sebut “peristiwa” (event). Kita ketahui bahwa sekali peristiwa itu terjadi, maka ia akan lenyap, artinya bahwa kenyataan-kenyataan masa lampau itu tidak mungkin lagi kita saksikan. Tetapi dari peristiwa-peristiwa masa lampau itu ada tertinggal bekas-bekas atau bisa disebut jejak sejarah yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa telah benar-benar terjadi.
Dengan demikian ini merupakan bukti-bukti tentang kenyataan masa lampau itu sendiri. Bukti-bukti tersebut sebenarnya belum merupakan suatu kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat data yang terserak-serak dan sering pula kita merasa ragu-ragu apakahi tu benar-benar bukti dari peristiwa yang kita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat pernyataan bulat bahwa sesuatu peristiwa dimasa lampau benar-benar telah terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dan kemudian menguji bukti-bukti tersebut (heuristik dan kritik) terutama untuk menentukan kredibilitasnya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan fakta sejarah, yang atas dasar sifat terwujudnya fakta itu, maka oleh beberapa sejarawan fakta didifinisikan sebagai “keterangan yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah setelah kita saring dan kita uji dengan kritik sejarah sebagai alat”. Masalah kita sekarang adalah apakah kesimpulan kita yang kita peroleh dari bukti-bukti sejarah itu (yang kita sebut fakta) bisa dianggap benar dalam artian benar-benar menggambarkan peristiwanya di masa lampau. Ini dipertanyakan karena peristiwa itu sendiri telah lenyap sehingga tidak mungkin dibuat perbandingan langsung antara apa yang kita simpulkan dari bukti-bukti tersebut dengan peristiwanya sendiri. Inilah memunculkan apa yang dikalangan sejarawan dikenal sebagai masalah “kebenaran fakta”. Dengan sendirinya persoalan sebenarnya yang dihadapi sejarawan ialah bagaimana cara-cara yang bisa ditempuh sejarawan untuk membuktikan bahwa apa-apa yang telah disimpulkannya itu menggambarkan peristiwa sebenarnya. Untuk ini sejarawan terpaksa berpaling pada bidang filsafat yang mempersoalkan tentang “apa yang disebut benar” itu. Sedikitnya ada dua teori kebenaran yang biasanya bisa dikaitkan dengan usaha pengujian kebenaran fakta tersebut, yaitu teori kebenaran korepondsi (correspondece theory of truth) dan teori kebenaran koherensi (coherence taheory of truth). Teori korespondensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (apa yang benar-benar telah terjadi). Dengan kata lain apabila suatu pernyataan itu sama dengan realitasnya, maka pernyataan itu benar adanya.
Dalam bahasa filsafatnya diktum ini dirumuskan dengan kata-kata “adaequatio intellectus et rei”. (persamaan pengertian dengan benda/ujud realitas). Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disebut realitas dalam konteks sejarah adalah apa yang dalam uraian terdahulu disebut res gestae, yaitu apa yang benar-benar telah terjadi, suatu kenyataan seperti apa adanya yang tidak tergantung pada orang yang menyelidikinaya, jadi adanya itu baik orang ada orang yang memikirkan ataupun tidak. Sedangkan teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar jika cocok (cohere, fit in) dengan pernyataan-pernayataan lain yang pernah diucapkan / dinyatakan dan kita terima kebenarannya. Jadi disini jelas, kebenaran itu tidak dicari dalam hubungan pernyataan dengan realitas, tapi antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, dimana ditegaskan pula bahwa sebenarnya tidak ada suatu pernyataan (yang kita buat itu) yang terisolasi (berdiri sendiri-sendiri) karena semua pernyataan-pernyataan itu bergantung pada pikiran-pikiran ataupun kondisi-kondisi tertentu dan dibuat/ditunjukkan berdasar pada suatu latar belakang dari pikiran-pikiran dan kondisi-kondisi tersebut. Dengan demikian dasar pokok teori ini adalah bahwa pengetahuan kita bersifat sistematis, dalam hal kita hendak memberikan suatu pendapat yang memuaskan mengenai kebenaran, karena bagian-bagian kecil dari pengetahuan kita yang kelihatannya berdiri sendiri-sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari suatu sistem. Karena yang dipentingkan dalam teori kedua ini adalah hubungan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, apakah dengan demikian teori ini mengabaikan peranan realitas dalam menguji kebenaran ? Dengan kata lain kalau realitas dianggap sama dengan fakta, apakah teori ini mengabaikan fakta dalam mencari kebenaran ? Sesungguhnya adanya fakta juga diakui oleh teori koherensi, hanya saja pengertian fakta disini berbeda dengan pengertian fakta yang digunakan oleh teori korespondensi. Apabila kita katakan bahwa sesuatu itu sesuai dengan fakta maka menurut teori koherensi fakta itu bukanlah sesuatu yang ada absolut, artinya dia apakah ada atau tidak campur tangan manusia, jadi sebagai sesuatu yang seolah-olah ada di suatu tempat dan kita saksikan atau kita pungut setiap saat kita menghendakinya.
Fakta, menurut teori koherensi, adalah sesuatu yang harus dibangun dulu, maka itu suatu fakta pada dasarnya adalah juga suatu pernyataan atau suatu teori karena merupakan suatu konklusi saja dari suatu proses berpikir. Suatu fakta hakekatnya suatu teori yang telah membentuk diri, suatu teori yang reliabilitasnya tidak lagi diragukan secara serius. Sesuai dengan konsep-konsep pengertian : peristiwa, jejak/bukti/sumber, dan fakta sejarah yang telah dijelaskan dimuka tadi, maka kelihatannya usaha sejarawan untuk menguji kebenaran fakta lebih cenderung dengan menggunakan teori kebenaran koherensi, yang mana ini terutama karena kesulitan yang dihadapi sejarawan untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau sebagai suatu realitas tentang apa yang benar-benar terjadi (res gestae). Akan tetapi Walsh telah mengingatkan para sejarawan bahwa mereka harus menyadari kekurangan/kelemahan teori koherensi terutama pada kecenderungannya untuk menekankan relativisme pada kebenaran historis yang bisa menjurus pada skeptisisme total akan kebenaran fakta sejarah. Maka dari itu, menurut Walsh, kedua teori kebenaran itu perlu disintesekan dalam usaha kita menguji kebenaran fakta, yaitu sementara kita mengakui kesulitan sejarawan untuk mencapai fakta absolut (sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi), tetapi di lain pihak sejarawan juga tidak hanyut ke arah keekstriman teori koherensi bahwa semua pernyataan sejarah bersifat relatif. Sebagai konsekwensinya, kita tetap harus berusaha untuk mencapai realitas masa lampau yang obyektif (dimana teori korespondensi banyak memberi pegangan bagi usaha untuk mencari landasan bagi rekontruksi masa lampau yang benar), meskipun tidak melalui pandangan langsung (face to face). Dengan kata lain, usaha sejarawan untuk mencapai kebenaran melalui prinsip-prinsip koherensi jangan sampai menyebabkan rekonstruksinya tentang masa lampau dilaksanakan secara semau-maunya. Pada dasarnya secara praktis cara kerja sejarawan dalam menuju pada pencapaian fakta yang benar adalah seperti yang ditekankan oleh R.G. Collingwood, yaitu dengan menganalogilam cara kerja sejarawan dengan cara kerja seorang ditektif.
Sangat terkenal contoh yang diberikan oleh Collingwood tentang cara kerja Inspektur Jenderal dari Scotland Yard untuk menemukan siapa yang membunuh ohn Doe. Seorang sejarawan yang berusaha menemukan/mewujudkan fakta yang benar untuk menyusun ceritera sejarahnya sebenarnya melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh Inspektur Jenkins tersebut. Di sini sang Inspektur dengan informasi permulaan yang dilapor-kan bawahannya akan mulai dengan membangun suatu teori tentang peristiwa pembunuhan itu dengan menghubung-hubungkan sejumlah fakta yang pernah dia ketahui dan telah terbukti kebenarannya. Dengan dasar teorinya ini, dia mulai menugaskan anak buahnya untuk mencari bukti-bukti untuk menunjang hipotesenya. Kalau sejumlah bukti yang meyakinkan berhasil ditemukan dan sifatnya mendukung teorinya, berarti teori dari mana did bertolak itu benar adanya (berarti pula fakta baru tentang pembunuhan yang sedang direkonstruksi juga benar adanya). Tetapi kalau bukti-bukti itu tidak diketemukan atau kalaupun ada bukti-bukti baru diketemukan tapi tidak menunjang teorinya, maka ia harus mulai lagi dengan membangun teori baru, dengan mencoba-coba lagi mengadakan penghubungan fakta-fakta yang telah diterima kebenarannya dan selanjutnya kembali menugaskan anak buahnya mencari bukti-bukti baru untuk menguji teorinya yang baru itu.
Hal ini sebenarnya juga dilaksanakan oleh sejarawan, dimana sejarawan juga mulai membangun ide-ide tentang hubungan fakta-fakta atau dengan fakta lainnya (sekaligus sebagai kerangka bertolak bagi usaha menguji kebenaran fakta), kemudian atas dasar kerangka ide ini mencoba mencari sebanyak-banyaknya bukti untuk menguji teori yang telah dibangunnya. Yang penting disini, kalau bukti-bukti baru (yang sebenarnya sumber bagi mewujudkan fakta) tidak diketemukan atau tidak menunjang teori yang telah dibangunnya, sejarawan yang bersangkutan hendaknya bersedia menarik teorinya dan mencoba membangun kerangka teori baru dan mencoba lagi menemukan bukti-bukti pendukungnya.

Dengan cara kerja seperti ini hakekatnya sejarawan dalam menguji kebenaran faktanya akan menghindarkan diri dari sifat relativisme teori kebenaran koherensi, karena dia tidak terpaku pada teori yang sudah dibangunnya dan hanya memperhatikan bukti-bukti (fakta-fakta) yang dianggap mendukung teori tersebut. Dengan kata lain, dengan melalui cara kerja tersebut, unsur-unsur kebenaran korespondensi diusahakan juga dicapai semaksimal mungkin oleh sejarawan dengan cara memberikan kesempatanyang lebih utama pada fakta untuk berbicara daripada teorinya sendiri.

Daftar Pustaka

-Ankersmit, F. R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. PT Gramedia. Jakarta.
-Popper, Raimund Karl. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. Terjemahan, Uzair Fauzan. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar