Berbicara tentang sejarah kita tidak bisa lepas dari
pembicaraan tentang fakta. Ini tidak lain karena fakta merupakan unsur utama
dalam penyusunan sejarah. Tanpa fakta tentu saja sejarah tidak mungkin disusun.
Dalam hubungan ini yang perlu kita permasalahkan ialah : apa sebenarnya fakta
tersebut ? Tetapi kiranya lebih penting pertanyaan : apa dasar kita untuk
menganggap suatu fakta itu benar adanya sehingga sejarah yang kita susun juga
adalah sejarah yang benar? Kelihatannya dikalangan umum, bahkan diantara para
sejarawan sendiri terdapat banyak pengertian tentang apa fakta sejarah itu
sebenarnya. Seperti apa yang dikemukakan oleh Patrick Gerdiner, bahwa dalam
pemakaian sehari-hari pada dasarnya ada dua pengertian pokok yang diberikan
pada istilah fakta, yaitu fakta dalam pengertian :
(1)
“apa yang benar-benar telah terjadi”
(2)
fakta sebagai “bukti-bukti dari apa-apa yang telah benar-benar terjadi”.
Kedua pengertian fakta ini menurut Gardiner bukanlah pengertian
yang tepat, bahkan menyesatkan.. Dalam hubungan ini kita sadari bahwa setiap
sejarah dimulai dengan apa-apa yang benar-benar telah terjadi di waktu yang
lampau, yang mana hal ini biasa kita sebut “peristiwa” (event). Kita ketahui
bahwa sekali peristiwa itu terjadi, maka ia akan lenyap, artinya bahwa
kenyataan-kenyataan masa lampau itu tidak mungkin lagi kita saksikan. Tetapi
dari peristiwa-peristiwa masa lampau itu ada tertinggal bekas-bekas atau bisa
disebut jejak sejarah yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa telah benar-benar
terjadi.
Dengan demikian ini merupakan bukti-bukti tentang kenyataan
masa lampau itu sendiri. Bukti-bukti tersebut sebenarnya belum merupakan suatu
kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat data yang
terserak-serak dan sering pula kita merasa ragu-ragu apakahi tu benar-benar
bukti dari peristiwa yang kita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat
pernyataan bulat bahwa sesuatu peristiwa dimasa lampau benar-benar telah
terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dan kemudian menguji
bukti-bukti tersebut (heuristik dan kritik) terutama untuk menentukan
kredibilitasnya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan fakta sejarah,
yang atas dasar sifat terwujudnya fakta itu, maka oleh beberapa sejarawan fakta
didifinisikan sebagai “keterangan yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah
setelah kita saring dan kita uji dengan kritik sejarah sebagai alat”. Masalah
kita sekarang adalah apakah kesimpulan kita yang kita peroleh dari bukti-bukti
sejarah itu (yang kita sebut fakta) bisa dianggap benar dalam artian
benar-benar menggambarkan peristiwanya di masa lampau. Ini dipertanyakan karena
peristiwa itu sendiri telah lenyap sehingga tidak mungkin dibuat perbandingan
langsung antara apa yang kita simpulkan dari bukti-bukti tersebut dengan
peristiwanya sendiri. Inilah memunculkan apa yang dikalangan sejarawan dikenal
sebagai masalah “kebenaran fakta”. Dengan sendirinya persoalan sebenarnya yang
dihadapi sejarawan ialah bagaimana cara-cara yang bisa ditempuh sejarawan untuk
membuktikan bahwa apa-apa yang telah disimpulkannya itu menggambarkan peristiwa
sebenarnya. Untuk ini sejarawan terpaksa berpaling pada bidang filsafat yang
mempersoalkan tentang “apa yang disebut benar” itu. Sedikitnya ada dua teori
kebenaran yang biasanya bisa dikaitkan dengan usaha pengujian kebenaran fakta
tersebut, yaitu teori kebenaran korepondsi (correspondece theory of truth) dan
teori kebenaran koherensi (coherence taheory of truth). Teori korespondensi
menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila sama (correspond)
dengan realitasnya (apa yang benar-benar telah terjadi). Dengan kata lain
apabila suatu pernyataan itu sama dengan realitasnya, maka pernyataan itu benar
adanya.
Dalam bahasa filsafatnya diktum ini dirumuskan dengan
kata-kata “adaequatio intellectus et rei”. (persamaan pengertian dengan
benda/ujud realitas). Perlu ditekankan disini bahwa apa yang disebut realitas
dalam konteks sejarah adalah apa yang dalam uraian terdahulu disebut res
gestae, yaitu apa yang benar-benar telah terjadi, suatu kenyataan seperti apa
adanya yang tidak tergantung pada orang yang menyelidikinaya, jadi adanya itu
baik orang ada orang yang memikirkan ataupun tidak. Sedangkan teori koherensi
menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar jika cocok (cohere, fit
in) dengan pernyataan-pernayataan lain yang pernah diucapkan / dinyatakan dan
kita terima kebenarannya. Jadi disini jelas, kebenaran itu tidak dicari dalam
hubungan pernyataan dengan realitas, tapi antara satu pernyataan dengan
pernyataan lainnya, dimana ditegaskan pula bahwa sebenarnya tidak ada suatu
pernyataan (yang kita buat itu) yang terisolasi (berdiri sendiri-sendiri)
karena semua pernyataan-pernyataan itu bergantung pada pikiran-pikiran ataupun
kondisi-kondisi tertentu dan dibuat/ditunjukkan berdasar pada suatu latar
belakang dari pikiran-pikiran dan kondisi-kondisi tersebut. Dengan demikian
dasar pokok teori ini adalah bahwa pengetahuan kita bersifat sistematis, dalam
hal kita hendak memberikan suatu pendapat yang memuaskan mengenai kebenaran,
karena bagian-bagian kecil dari pengetahuan kita yang kelihatannya berdiri
sendiri-sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari suatu sistem. Karena yang
dipentingkan dalam teori kedua ini adalah hubungan satu pernyataan dengan
pernyataan lainnya, apakah dengan demikian teori ini mengabaikan peranan
realitas dalam menguji kebenaran ? Dengan kata lain kalau realitas dianggap
sama dengan fakta, apakah teori ini mengabaikan fakta dalam mencari kebenaran ?
Sesungguhnya adanya fakta juga diakui oleh teori koherensi, hanya saja
pengertian fakta disini berbeda dengan pengertian fakta yang digunakan oleh
teori korespondensi. Apabila kita katakan bahwa sesuatu itu sesuai dengan fakta
maka menurut teori koherensi fakta itu bukanlah sesuatu yang ada absolut,
artinya dia apakah ada atau tidak campur tangan manusia, jadi sebagai sesuatu
yang seolah-olah ada di suatu tempat dan kita saksikan atau kita pungut setiap
saat kita menghendakinya.
Fakta, menurut teori koherensi, adalah sesuatu yang harus
dibangun dulu, maka itu suatu fakta pada dasarnya adalah juga suatu pernyataan
atau suatu teori karena merupakan suatu konklusi saja dari suatu proses
berpikir. Suatu fakta hakekatnya suatu teori yang telah membentuk diri, suatu
teori yang reliabilitasnya tidak lagi diragukan secara serius. Sesuai dengan
konsep-konsep pengertian : peristiwa, jejak/bukti/sumber, dan fakta sejarah
yang telah dijelaskan dimuka tadi, maka kelihatannya usaha sejarawan untuk
menguji kebenaran fakta lebih cenderung dengan menggunakan teori kebenaran
koherensi, yang mana ini terutama karena kesulitan yang dihadapi sejarawan
untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau sebagai suatu realitas tentang apa
yang benar-benar terjadi (res gestae). Akan tetapi Walsh telah mengingatkan
para sejarawan bahwa mereka harus menyadari kekurangan/kelemahan teori
koherensi terutama pada kecenderungannya untuk menekankan relativisme pada
kebenaran historis yang bisa menjurus pada skeptisisme total akan kebenaran
fakta sejarah. Maka dari itu, menurut Walsh, kedua teori kebenaran itu perlu disintesekan
dalam usaha kita menguji kebenaran fakta, yaitu sementara kita mengakui
kesulitan sejarawan untuk mencapai fakta absolut (sebagai sesuatu yang
benar-benar terjadi), tetapi di lain pihak sejarawan juga tidak hanyut ke arah
keekstriman teori koherensi bahwa semua pernyataan sejarah bersifat relatif.
Sebagai konsekwensinya, kita tetap harus berusaha untuk mencapai realitas masa
lampau yang obyektif (dimana teori korespondensi banyak memberi pegangan bagi
usaha untuk mencari landasan bagi rekontruksi masa lampau yang benar), meskipun
tidak melalui pandangan langsung (face to face). Dengan kata lain, usaha
sejarawan untuk mencapai kebenaran melalui prinsip-prinsip koherensi jangan
sampai menyebabkan rekonstruksinya tentang masa lampau dilaksanakan secara
semau-maunya. Pada dasarnya secara praktis cara kerja sejarawan dalam menuju
pada pencapaian fakta yang benar adalah seperti yang ditekankan oleh R.G.
Collingwood, yaitu dengan menganalogilam cara kerja sejarawan dengan cara kerja
seorang ditektif.
Sangat terkenal contoh yang diberikan oleh Collingwood
tentang cara kerja Inspektur Jenderal dari Scotland Yard untuk menemukan siapa
yang membunuh ohn Doe. Seorang sejarawan yang berusaha menemukan/mewujudkan
fakta yang benar untuk menyusun ceritera sejarahnya sebenarnya melakukan
kegiatan seperti yang dilakukan oleh Inspektur Jenkins tersebut. Di sini sang
Inspektur dengan informasi permulaan yang dilapor-kan bawahannya akan mulai
dengan membangun suatu teori tentang peristiwa pembunuhan itu dengan menghubung-hubungkan
sejumlah fakta yang pernah dia ketahui dan telah terbukti kebenarannya. Dengan
dasar teorinya ini, dia mulai menugaskan anak buahnya untuk mencari bukti-bukti
untuk menunjang hipotesenya. Kalau sejumlah bukti yang meyakinkan berhasil
ditemukan dan sifatnya mendukung teorinya, berarti teori dari mana did bertolak
itu benar adanya (berarti pula fakta baru tentang pembunuhan yang sedang
direkonstruksi juga benar adanya). Tetapi kalau bukti-bukti itu tidak
diketemukan atau kalaupun ada bukti-bukti baru diketemukan tapi tidak menunjang
teorinya, maka ia harus mulai lagi dengan membangun teori baru, dengan
mencoba-coba lagi mengadakan penghubungan fakta-fakta yang telah diterima
kebenarannya dan selanjutnya kembali menugaskan anak buahnya mencari bukti-bukti
baru untuk menguji teorinya yang baru itu.
Hal ini sebenarnya juga dilaksanakan oleh sejarawan, dimana sejarawan juga mulai membangun ide-ide tentang hubungan fakta-fakta atau dengan fakta lainnya (sekaligus sebagai kerangka bertolak bagi usaha menguji kebenaran fakta), kemudian atas dasar kerangka ide ini mencoba mencari sebanyak-banyaknya bukti untuk menguji teori yang telah dibangunnya. Yang penting disini, kalau bukti-bukti baru (yang sebenarnya sumber bagi mewujudkan fakta) tidak diketemukan atau tidak menunjang teori yang telah dibangunnya, sejarawan yang bersangkutan hendaknya bersedia menarik teorinya dan mencoba membangun kerangka teori baru dan mencoba lagi menemukan bukti-bukti pendukungnya.
Hal ini sebenarnya juga dilaksanakan oleh sejarawan, dimana sejarawan juga mulai membangun ide-ide tentang hubungan fakta-fakta atau dengan fakta lainnya (sekaligus sebagai kerangka bertolak bagi usaha menguji kebenaran fakta), kemudian atas dasar kerangka ide ini mencoba mencari sebanyak-banyaknya bukti untuk menguji teori yang telah dibangunnya. Yang penting disini, kalau bukti-bukti baru (yang sebenarnya sumber bagi mewujudkan fakta) tidak diketemukan atau tidak menunjang teori yang telah dibangunnya, sejarawan yang bersangkutan hendaknya bersedia menarik teorinya dan mencoba membangun kerangka teori baru dan mencoba lagi menemukan bukti-bukti pendukungnya.
Dengan cara kerja seperti ini hakekatnya sejarawan dalam
menguji kebenaran faktanya akan menghindarkan diri dari sifat relativisme teori
kebenaran koherensi, karena dia tidak terpaku pada teori yang sudah dibangunnya
dan hanya memperhatikan bukti-bukti (fakta-fakta) yang dianggap mendukung teori
tersebut. Dengan kata lain, dengan melalui cara kerja tersebut, unsur-unsur
kebenaran korespondensi diusahakan juga dicapai semaksimal mungkin oleh
sejarawan dengan cara memberikan kesempatanyang lebih utama pada fakta untuk
berbicara daripada teorinya sendiri.
-Ankersmit,
F. R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. PT
Gramedia. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar