Kamis, 29 November 2012

Culture Studies



Bukan hanya sekumpulan teori dan metode yang monolitik tetapi senantiasa membentangkan wacana kajian yang terus merespon kondisi sosial politik dan mangikuti laju historis. Cultural studies mengandung wacana yang beragam, cultural studies mempunyai sejumlah kekhasan yang selalu ditandai dengan keragaman perdebatan, berbagai reaksi dari berbagai kalangan yang menyatakan ketidaksetujuan, sehingga menimbulkan perkembangan kajian-kajian budaya yang bersifat kontekstual, dengan demikian seringkali pendekatan Cultural studies bersifat holistic yang digambarkan oleh Storey yaitu sebuah arena consensus dan resistensi, budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung.
Bukan ranah di mana sosialisme, sebuah kultur social – yang telah terbgentuk sepernuhnya-dapat sungguh-sungguh ‘diperlihatkan’, namun, ia adalah salah satu tempat di mana sosialisme boleh jadi diberi legalitas, itulah mengapa’budaya pop menjadi sesuatu yang penting. Setiap penekanan arti kata “budaya” dalam pandangan cultural studies seringkali kali didefinisikan secara politis, Cultural studies juga mengegaskan bahwa penciptaan budaya pop (praktik produksi dapat menentang permasalahan dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdaya bagi mereka yang subordinate, namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya memberdayakan dan menentang.
Menyangkal posivitas konsumsi bukan berarti menampik bahwa kadangkala konsumsi itu posif, menginkari bahwa konsumen budaya pop bukan korban penipuan budaya bukan berarti menyangkal bahwa sekali waktu kita semua bias menjadi korban penipuan. Mempelajari kajian budaya pop kontemporer secara metodis, analitis, dan bersifat sistematis. Selain dari pada itu, para pembaca juga diantar untuk memahami peta perkembangan cultural studies secara teoritis dan metodis ketika menguliti aneka persoalan yang berkaitan dengan fenomena budaya pop.
Karena perkembangan budaya masyarakat metropolis demikian beragam, dan dibutuhkan pola pemahaman yang cermat dan sistematis.Ketersediaan landasan teori dan metode untuk para peminat yang baru menerjunkan diri pada bidang ini menjadi semacam penghilang rasa keingintahan akan kedahagaan epistemologis disiplin ilmu. Sebab, tanpa kedua hal itu (teori dan metode) kita tidak akan memiliki landasan berpijak sehingga setiap produksi budaya pop kontemporer disantap tanpa menyertakan daya kritis. Dengan demikian , bagi para peminat cultural studies mengetahui dasar-dasar teori dan metode adalah sebuah keniscayaan, karena setiap budaya pop kontemporer membawa pesan ideologis sebagai konsep sentral dalam cultural studies.
Pada saat budaya terartikulasi, akan menciptakan aksen yang beragam oleh orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda dan untuk tujuan politik yang berbeda. Wilayah produksi dan distribusi dalam budaya pop kontemporer sarat dengan pergumulan ideologis, di mana sebuah hegemoni dimenangkan atau kalah. Sebab, dalam perspektif cultural studies terdapat proses dialektika antara artikulasi (produksi) budaya dengan aktivitas konsumsi. Menyangkal pasivitas konsumsi bukan berarti menolak kedangkalan konsumsi pasif, melainkan mengurai benang kusut bahwa budaya pop merupakan budaya yang terdegradasi untuk meraup keuntungan dan menjamin kontrol ideologis.
Perkara ini mestinya ditelisik secara mendalam dengan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap detail-detail produksi, distribusi dan konsumsi budaya.Ketiga detail (produksi, distribusi dan konsumsi budaya) di atas tentunya mesti dijadikan pusat perhatian oleh para pengkaji budaya pop.Hal itu untuk mengurai keterhijaban antara peristiwa budaya dan makna pesan teks yang sampai ke khalayak ramai. Di sini, akan terlihat penciptaan-penciptaan kelas bagi masyarakat yang mengkonsumsi salah satu produk budaya pop. Eksistensi musik pop, umpamanya, tidak dapatmelepaskan diri dari latar belakang penikmatnya dan pengaruh ideologi politik, keuntungan ekonomi, dan kolonialisasi budaya yang dilakukan para pencipta budaya pop.
Budaya pop kontemporer untuk konteks saat ini dapat disaksikan dari aneka media populer seperti Televisi, karya fiksi, Film, Musik Pop, surat kabar dan majalah yang sangat berkaitan erat dengan konsumerisme. Televisi keberadaannya tidak dapatdipisahkan dari proses encoding, deconding dan muatan-muatan ideologi massa. Karya fiksi juga menjadi perhatikan, bahwa adanya perubahan sikap yang terjadi, perhatikan fenomana yang dikemukakan oleh Derek Longhurst, yaitu: Kini sangat jamak diakui bahwa kajian fiksi popular memainkan peran penting dalam analisis bahwa. Membaca fiksi popular tidak lagi secara umum dipandang sebagai aktivitgas yang berhubungan dengan sifat buruk yang dirahasikan di mana seharusnya diaku orang dengan penuh malu. Cerita popuer tidak bias lagi dipahami secara memadai sebagai semata-mata narkotis dan pembacanya sebagai pecandu yang tak terderahkan. Dengan demikian hal tersebut sering kali berkait dengan bahasan-bahasan ideologi, pembacaan simptomatik; Althusser mencirikan metode pembacaan Karl Marx atas Karya Adam Smith sebagai ‘simptomatik” yaitu pembacaan itu menguak peristiwa yang tak terkuak di dalam teks yang dibacanya, dan dengan cara yang sama memhubungkannya pada sebuah teks yang berbeda, yang hadir sebagai ketidakhadiran yang diperlukan pertama kali.
Seperti pembacaan pertamanya pembacaan kedua Marx mengadaikan eksistensi dua teks, dan pengukuran yang pertama terhadap yang kedua. Namun apa yang membedakan pembaca ini dari pembaca klasik adalah fakta bahwa pada pembaca yang baru ke kedua diartikulasikan dengan perubahan dalam teks pertama.Formasi dan fiksi romantis. Bahkan Film, surat kabar dan majalah juga memiliki permasalahan yang relatif sama dengan fiksi dan televisi yang tak dapatmelepaskan diri dari ideologi massa. Dengan demikian, kajian budaya pop sebetulnya merupakan sebentuk pengupasan dan membahas tentang wujud bentuk terdalam dari praktik konsumsi sehari-hari yang berisi bahasan tentang selera yang dapat menggilas masyarakat pada areal konsumerisme yang semakin membabi buta.
Sehingga belanja merupakan sebuah aktifitas yang maknanya tidak sekedar membeli, tetapi dapat dimaknai sebagai berikut: Konsumsi munculsebagai sebuah perhatian budaya pada akhir tahun 1959-an dan awal tahun 1960-an dalam perdebatan mengenai perkembangan masyarakat konsumen. Ia kemudian menjadi sangat tampak di dalam cultural studies pada tahun 1970-an di dalam karya mengenai bebagai perbagai subkultur menyediakan beragam komoditas untuk menghasilkan makan alternatif dan oposisional. Baru-baru ini, konsumsi dapat ditemukan dalam berbagai studi mengenai budaya penggemar dan dalam berbagai studi tentang belanja sebagai bentuk budaya pop.
Ada berbagai kerangka  teori konsumsi, wacana subkultural, kegemaran pasar, dan aktivitas belanja. Konsumsi hadir sebagai sebuah idiologi, maka dapat diperhatikan yaitu ideologi konsumerisme bias dilihat sebagai salah satu strategi pengalihan salah satu contoh mengenai pencarian yang tiada akhir, pergerakan hasrat metanimik yang tak ada habisanya. Janji yang dibuatnya adalah bahwa konsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita; konsumsi bakal membuat kita utuh lagi.
Konsumsi akan membuat kita penuh kembali, konsumsi akan membuatg kita lengkap lagi, konsumsi akan mengembalikankita pala kondisi ‘imajiner’ yang diliputi kebahagiaan.Selain dari pada itu juga dikemukakan tentang gaya mood, gaya yang mereka ciptakan merupakan suatu parody masyarakt konsumen yang di situ mereka dikondisikan. Komunitas mod memberikan pukulannya dengan membalikkan dan mendistorsi citra mengenai kerapian, mengenai rambut cepak) sehingga dihargai oleh para pekerja dan orangtuanya, untuk menciptakan suatu gaya, yang walaupun secara lehirah tertutup bagi dunia yang lurus namun tidak bias dipahami oleh mereka.Tanpa melebih-lebihkan, bahwa buku ini memuat berbagai permasalahan dan fenomena budaya pop kontemporer, budaya masyarakat metrololis yang berdampai luas dalam kehidupan masyarakt dunia.
Sehingga banyak problematika dalam hidup yang menjadi seolah-oleh kebutuhan yang tidak ada habisnya, masyarakat terus dikonstruksi dalam sebuah dunia imajiner yang tidak ada akhir (kepuasan). Model dan berbagai gaya hidup terus menjadi produksi yang bersifat masal dan bersifat global. Semua orang, masyarakat di berbagai belahwan dunia terus membentuk pola hidup yang sama, pola makan, dan penikmatan berbagai hal secara seragam dan terus berpacu dari waktu-kewaktu seolah-oleh lari tetapi tidak ada tujuan akhir. Hal ini tampak pada pernyataan Willis yaitu tak ada agensi lain yang mengenali ranah ini atau mengisinya dengna materi-matari simbolik yang bias digunakan.
Dan semua usaha komersial di bidang budaya telah menemukan sesuatu yang nyata. Untuk alsan apa pun yang kuat ia dikerjakan, kita yakin bahwa ini adalah sebuah pengakuan histories, ia berlaku dan tak bias kembali. Bentuk-bentuk cultural komesial telah membantu menghasilkan suatu kehadiran histories yang darinya kita kini tak bias menghindar, dan di mana terdapat lebih banyak materi-terlepas apa yang kita pikirkan tentangnya-yang tersedia bagi kerja simbolik yang diperlukan dibidang sebelumnya.
Karena hal inilah, muncul bentuk-bentuk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya di dalam imajinasi komersial dan tentunya tidak di dalam imajinasi resmi bentuk-bentuk yang membentuk budaya bersama. Budaya pop yang pasti akan terus berubah dan memperluas objek kajiannya, sudah barang tentu dengan berbagai fenomena yang terus berkembang sesuai dengan pola-pola konstruksi kapitalisme yang telah berkembang secara global, maka dibutuhkan sebuah pemahaman bersama tentang sesuatu yang sedang terjadi, sedang berubah, dan sedang menggerogoti diri kita tampa pernah disadari.












DAFTAR PUSTAKA
-          Chris Baker. 2006. Culture Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Cetakan ke-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar