Fase
peradaban, yakni:
Teologis
Ilmu
tentang ketuhanan, kehidupan manusia dilingkupi oleh hak yang sifatnya ketuhanan,
semua perasaan mengacu kepada tuhan. Contohnya, fenomena alam seperti gempa bumi
dalam konsep ketuhanan yang dipersepsikan terhadap masyarakat pada masa itu mungkin
ada leluhurnya yang dimaksud tuhan misalkan ada ular besar di dalam bumi yang bergerak
dan cara untuk menanggulanginya supaya tidak ada bencana besar dengan cara tradisional
ritual dan pengabdian terhadap tuhannya.
Metafisis
Dalam
fase ini menimbulkan persoalan yang bersifat transendental, gaib dan di luar batas
kemampuan, metafisik disini merupakan sebuah ide (spiritual) dari roh dan jiwa,
sebaliknya untuk fisik berarti dapat dirasakan oleh panca indera. Konsep ketuhanan
mulai pudar.
Positif
Fase
ini sudah memasuki fase ilmu pengetahuan, aspek teologis dan metafisis hilang,
tetapi daya nalar logis yang dipakai. Ketika terjadi gempa, secara logis dengan
daya nalar serta rasional terjadi karena ada lempengan bumi yang bergeser atau patah.
Dalam fase ini semua hal telah dirasionalkan.
Dari
ketiga fase peradaban tersebut saya cenderung dalam fase positif yang membuat saya
heran dan keliru, maksud dalam fase positif semua hal dirasionalkan itu bahwa saya
beranggapan dalam penulisan karya tulis ilmiah mungkin kita bisa memakai metode
wawancara sebagai sumber lisan dengan cara mediasi terhadap roh halus, apabila sumber
informan tidak otentik dan tidak kredibel, apa salahnya juga membandingkan dengan
mengganti informan roh halus tersebut dengan yang lain. Ketika proses mediasi dilakukan
beberapa kali dan informasi yang diberikan ada kesamaan mungkin bisa saja benar.
Dalam konsep roh, roh manusia yang sudah meninggal dunia dalam genggaman dan kekuasaan
Tuhan dan tidak berkeliaran bebas, jadi roh yang masuk ke dalam tubuh mediator
kebenarannya tidak bisa dipastikan. Dalam penulisan karya ilmiah juga terdapat beberapa
unsur, yaitu Logis, Empiris, Rasional dan Imperemental. Dalam unsur logis mengenai
sumber mediasi tidak sejalan, kemudian secara empiris juga hal tersebut tidak bisa
dikombinasikan dengan Teologis dan secara rasional tidak ada sumber pembandingnya.
Akan tetapi sumber tersebut bukan dijadikan untuk sumber tersier, sekunder bahkan
primer dan hanya dijadikan sebagai sumber penunjang atau pendukung terhadap apa
yang diceritakannya sebagai kerangka peristiwa atau deskriptif sebagai gambaran
serta mencoba mendekati kredibilitas dan kebenarannya. Jadi dalam penulisan karya
ilmiah saya rasa mediasi bisa dipakai sumber, yakni sumber lisan yang hanya sebagai
sumber penunjang, untuk sedikitnya mengetahui peristiwa secara deskriptif. Dari
anggapan sayatersebut, bagaimana dalam historiografi tradisonal bisa dikatakan karya
ilmiah yang memakai sumber-sumber naskah kuno? Bagaimana cara menguji kebenaran
naskah kuno tersebut yang zamannya masih dalam tahapan mitis seperti yang
dikatakan van Peursen yang dibagi menjadi tahap mitis, ontologis dan fungsional.
Dilihat dari kultuurgebundenheit (ikatan budaya) dan zeitgeist (jiwa zaman)-nya masih
berbau mitos dan alam gaib terhadap kepercayaan adat tradisional serta mungkin termasuk
dalam fase teologis dan metafisis juga seperti yang dikatakan van Peursen yang termasuk
dalam tahapan mitis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar