Pertama saya akan
membahas gambaran tentang norma sebagai pengantar. Tingkah laku pribadi yang
normal ialah: perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia
berada; sesuai pula dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat
itu, sehingga tercapai relasi personal dan interpersonal yang memuaskan. Tingkah laku abnormal/menyimpang
ialah: tingkah laku yang adekwat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada
umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada.
Dalam beberapa
pendekatan lain patologi sosial dikenal juga dengan istilah di antaranya:
masalah sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, maladjustment,
abnormal, sociatri dan sociopathic, yang secara umum pengertiannya adalah sama
yakni bentuk-bentuk fenomena perilaku masyarakat yang menyimpang, berbeda dari
aturan dan kesepakatan norma kelompok, sakit dan tidak normal.
1). Approach
Biologis yakni pendekatan biologis, sosiopatik dalam hal ini terfokus pada
bagian genetik yang beranggapan bahwa,
a.
patologi itu menurun melalui gen/plasma pembawa sifat
di dalam keturunan, kombinasi dari gen-gen
atau tidak
adanya gen-gen tersebut.
b.
Ada pewaris umum melalui keturunan yang
menunjukkan tendensi untuk berkembang ke
arah
pathologis (tipe kecenderungan yang luar
biasa
abnormal.
c.
Melalui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah,
yang akan berkembang ke arah tingkah laku
sosiopatik.
2). Approach Psychologist dan Psychiatris
Pendekatan psikologi dalam memahami tingkah
laku sosiopatik atau individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain
karena faktor-faktor atribut personal di antaranya kemampuan dan perkembangan
kompetensi individu dalam; intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses
berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru, internalisasi yang salah.
Sedangkan pendekatan Psikiatri berdasarkan teori konflik emosional dan
kecenderungan psikopatologi yang ada di balik tingkah laku menyimpang.
3). Approach Sosiologis
Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah
laku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkah laku yang berbeda dan
menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat dan waktu
tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak setuju”.
Reaksi
dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregasi,
(pengucilan/pengasingan), pengucilan, contoh: mafia (komunitas mafia dengan
perilaku pengedar narkoba, korupsi).
Dalam kajian patologi sosial perilaku
sosiopatik dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu diferensiasi dan deviasi
yakni perbedaan dan penyimpangan. Sedang deviasi dari fungsinya dibedakan pada:
- Deviasi individual yakni bersumber pada faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu.
- Deviasi Situasional yakni karena pengaruh kekuatan-kekuatan situasi di luar individu dimana situasi tersebut merupakan bagian integral, misal karena lapar orang mencuri, karena patah hati orang melacur, dll.
- Deviasi sistematik yakni pada hakekatnyaadalah sub kultur atau satu sistem tingkah laku, disertai organisasi sosial khusus, status formal, pikiran-pikiran tentang nilai-nilai rasa kebangsaan, norma dan moral tertentu yang berbeda dengan situasi umum.
Atau dalam bahasa lain
semua pemikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian
dirasionalisasikan atau dibenarkan oleh semua pemikiran dan perbuatan yang
menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisasikan atau dibenarkan oleh
semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu sehingga penyimpangan
atau deviasinya terkesan terorganisir dan sistematik, misal para teroris, mafia
hukum, bandar narkoba, dll.
Setelah membaca buku
Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan BAB III, peristiwa terjadinya beberapa
penyimpangan sosial sekitar pasca kemerdekaan, di mana pada masa itu situasi
ekonomi yang paling menonjol. Beberapa penyimpangan sosial yang terjadi seperti
munculnya pencopetan, pencurian, candu dan lahirnya uang palsu merupakan jenis
kriminalitas. Hal itu adalah penyimpangan sosial, sebuah penyakit masyarakat.
Penyakit masyarakat ini biasa disebut patologi sosial dalam hal akademis atau
kaum intelektual. Dan penyimpangan sosial disebut deviasi. Penyakit masyarakat
tidak mungkin muncul tanpa ada sebab.
Dilihat secara
kronologis peristiwa ini terjadi di masa revolusi, di mana kemerdekaan baru
diraih. Pembangunan dalam segala aspek baru dimulai. Penyakit masyarakat yang
timbul ini karena faktor ekonomi. Di
masa awal revolusi masih banyak berkeliaran jenis mata uang, seperti NICA dan
ORI. Hal tersebut membingungkan masyarakat dalam hal jual beli. Terutama
terhadap nilai jual dan perbandingan terhadap Rupiah. Maka segala usaha
pemerintah dan beberapa organisasi menyediakan sarana seperti sejenis Bank
untuk pinjaman.
Hal ini dikatakan tidak
berhasil, karena upah yang diterima pekerja tidak sesuai dengan apa yang
diterimanya. Ketidakjelasan jenis mata uang yang dipakai ini menimbulkan banyak
masalah. Bahkan dengan adanya Bank tidak bisa mengantisipasi dan hanya bersifat
sementara. Penyakit masyarakat mulai timbul dengan beredarnya uang palsu dan
penimbunan uang receh, penimbunan barang dan kriminalitas. Dalam hal penimbunan
barang, lascar-laskar mengeluarkan peraturan dengan membatasi kuota dan masa
aktif barang yang akan dijual, maka dari itu banyak muncul pencopet dan
pencuri.
Kemudian candu, candu
dibawa oleh orang Arab ke Indonesia sudah sejak abad ke-19 melalui pedagang.
Khususnya di Surakarta peredaran candu ini berasal dari bandar-bandar asal
Cina. Terjadi dualism terhadap pemerintah di Surakarta ini mengenai Candu.
Lembaga diizinkan memperjual-belikan candu sedangkan masyarakat tidak diizinkan.
Dari beberapa penyakit masyarakat itu
menurut saya wajar terjadi seperti itu karena pada hal tersebut terjadi di masa
awal Revolusi. Setelah merdeka, Soekarno yang anti Barat menolak bantuan dari
Negara-negara Barat. Keidealisan itu sendiri membawa petaka yang seperti itulah
hasilnya dengan timbulnya penyakit masyarakat. Meskipun tak menjamin juga
ketika menerima bantuan dari Barat mungkin akan meminimalisisr untuk
mengendalikan pembanguna perekonomian. Soekarno yang pada masa itu ingin
berdiri sendiri menegakan Indonesia mesti bersusah payah mengoptimalkan keadaan
ini dengan mengeluarkan beberapa aturan dan pasal undang-undang untuk mengatur
masyarakatnya supaya sejahtera. Penyakit masyarakat bermunculan dengan tingkat
keamanan juga belum stabil. Polisi yang pandangannya selalu negative oleh
masyarakat tidak bisa apa-apa dengan keterbatasan sumber daya manusia dan
jumlah. Masyarakat menilai polisi hanya akan mementingkan kepentingan
pemerintah seperti halnya yang dilakukan Jepang dan Belanda, maka dari itu
masyarakat selalu memandang polisi itu dianggap jelek, bahkan sampai saat ini
saya kira.
Dilihat dari demografi
politik di Surakarta, jelas sangatlah riskan. Ketika Ibu Kota dari Jakarta
sementara dipindahkan ke Yogyakarta sesuai penawaran Sultan kepada Soekarno.
Pada masa itu sangatlah genting, sehingga Sultan menawarkan untuk tempat
berpindahnya Ibu Kota. Di masa Revolusi, seperti halnya telah ditugaskan di bab
tiga yakni di mana situasi keadaan pembanguan ekonomi yang ambruk. Padahal
Negara Barat menawarkan bantuan, tetapi Soekarno menolaknya. Alhasil beberapa
penyakit masyarakat muncul, terutama di Surakarta. Ketika Ibu Kota pindah ke
Yogyakarta, otomatis segala bentuk aktivitas politik selalu mengarah ke Ibu
Kota itu berada.
Organisasi-organisasi
revolusioner membawa bentuk ideologi struktur politik baru, tepatnya mobilitas
politik. Dengan segala bentuk perbedaan pendapat banyak menimbulkan konflik
yang tak terelakan di Surakarta, terutama antara golongan tua dan golongan
muda. Terjadi penculikan para pemimpin Keraton Kasunanan dan Mangkunegaraan
yang dilakukan kaum oposisi, yakni Barisan Banteng. Beberapa wewenang direbut
oleh Barisan Banteng. Sementara Yogyakarta masih dikuasai pemerintah dan
Surakarta dikuasai oleh kaum oposisi.
Konflik kekuatan
politik di Surakarta bagaikan kompetisi dengan timbulnya kekerasan. Meskipun
kaum oposisi menguasai Surakarta, mereka belum mampu mengalahkan Sjahrir
sebagai Perdana Menteri. Surakarta merupakan daerah kacau dengan kekerasan dan
tindakan criminal. Aksi pengrusakan, penculikan dan pembunuhan sislih berganti
sebagai bagian dari konflik politik.
Bahkan para petani
sempat terpengaruh oleh oposisi yang melakukan pemogokan besar-besaran.
Kekerasan di antara kekuatan politik di Surakarta semakin sengit. Terjadi
pertempuran-pertempuran antara Pasukan Panembahan Senopati dan SIliwangi. Tindakan
kriminal yang terjadi di Surakarta merambah masuk ke pedesaan-pedesaan. Oposisi
yang merebut kekuasaan di Keraton, menganggap bahwa pihak Keraton dekat dengan
pihak asaing, terutama Belanda. Bahkan hampir semua organisasi dan badan
perjuangan melihat Keraton membela kepentingan Belanda. Kesatuan militer TNI lah yang menjadi basis
pelaku penculikan terhadap pamongpraja, pegawai pemerintah dan Cina. Adapun
oknum yang mengikuti aksi untuk kepentingan pribadinya.
Untuk jenis kriminal
pembunuhan, banyak dilakukan oleh para pemberontak. Organisasi politik dan
badan keamanan disibukkan dengan menangkapa para pemberontak dan mesti
menghukum mati para pemberontak. Target pembunuhan ini tidak beda jauh adalah
pamongpraja dan orang Cina. Penjarahan dan pembakaran pun merajalela. Seiring
dengen memanasnya keadaan politik akibat dari peristiwa di Madiun, muncul
gerakan-gerakan kriminal dengan penjarahan harta Keraton. Beberapa gedung
pemerintahan pun menjadi korban tindakan yang dilakukan oleh gerombolan TNI.
Cina yang menjadi target utama dalam penjarahan ini. Toko, rumah sampai
pedesaan dibakar dan dijarah hartanya.
Perbanditan
dan Penggedoran
Di zaman revolusi, Indonesia
mengalami keadaan yang sangat kritis dan rentan terhadap kriminalitas. Ada
istilah jagoan yang dihadapkan antara pilihan, apakah mau menjadi seorang
kriminal atau seorang revolusioner. Revolusioner yang patriotis dengan mempunyai
sikap seorang jiwa pahlawan dianggap agung. Berbeda dengan seorang kriminal
yang mempunyai kepentingan pribadi dianggap penjahat. Seorang kriminal melihat
masa revolusi ini sebagai peluang untuk melakukan aksi kejahatan. Pemimpin
bandit berusaha melegalisasikan untuk revolusi dengan mengimitasi status
kelembagaan melewati penguasa. Dengan gerakan revolusioner atau badan-badan
perjuangan dijadikan alat teror untuk kekuasaannya.
Membentuk suatu organisasi yang
sistematis dengan membalikkan nilai-nilai norma merupakan esensi dari kegiatan
perbanditan. Bandit adalah penentang hukum secara individual maupun kelompok.
Menurut Hobsawm bandit adalah seseorang dari anggota kelompok yang menyerang
dan merampok dengan kekerasan. Bandit dibedakan menjadi empat, yaitu:
-
Perampok berkawan
-
Seorang yang mencuri, membunuh dengan secara kejam dan tanpa rasa malu (gangster)
-
Seorang yang mendapat keuntungan dengan tidak wajar
-
Musuh
Para bandit memanfaatkan situasi
kacau untuk kepentingannya di zaman Revolusi Indonesia, terutama di Surakarta
dengan menggedor, menjarah, dan mencuri harta orang laian. Targetnya adalah
pamongpraja, pribumi kaya dan orang-orang Cina kaya. Aksi ini dilakukan sebagai
protes sosial atas eksploitasi terhadap swapraja Surakarta dengan mengambil
paksa harta kraton. Penggedoran adalah bentuk kegiatan yang dilakukan
sekelompok irang bersenjata untuk mengambil sesuatu milik orang lain dengan
kekerasan. Istilah benggol dipakai untuk pemimpin gedor yang disegani anak
buahnya yang mempunyai otoritas wibawa, yakni kharisma yang dimilikinya.
Benggol ini mempunyai kesaktian
tinggi, dan dapat merekrut pengikutnya berdasarkan loyalitasnya terhadap
pemimpin. Dengan kelebihan lebih dari pengikutnya, dalam hal apapun layaknya
seorang pendata yang memberi wejangan dan tempat bertanya terhadap masalah di
pedesaan, secara fisik maupun spiritual. Seorang benggol sering bersikap ramah
terhadap masyarakat dengan memberi pertolongan untuk mendapatkan simpati,
seperti pengobatan penyakit dengan ilmu tradisional. Seorang bandit bukan
sembarang orang, karena untuk mendapatkan ilmu yang tinggi ada sebuah metode
tersendiri dengan berpuasa dan berziarah di makam keramat.
Semakin lama dan semakin sering hal
itu dilakukan, maka semakin tinggi pula ilmu yang diraihnya. Oleh karena itu
bandit yang ingin menjadi benggol disegani pengikutnya dan musuhnya serta
mendapatkan simpati dan kepercayaan. Loyalitas sudah tidak diragukan lagi,
tugas benggol dalam aksi kejahatannya dibantu oleh seorang wukul sebagai
pembantu utamanya. Dengan wilayah kekuasaan yang luas, maka wukul akan diangkat
menjadi seorang lurah untuk menjalankan roda pemerintahannya. Dalam hal ini
terjadi persaingan antara wukul di wilayah lainnya, terutama dalam hal
kekuasaan dan perebutan wanita.
Hal yang mendukung berkembangnya
seorang benggol disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
-
Tingginya ilmu
-
Luas wilayah kekuasaan
-
Besarnya jumlah pengikut
-
Keroyalan penggunaan uang
-
Banyaknya wanita simpanan
Di Surakarta pada masa revolusi
banyak benggol yang terkenal, salah satunya Suradi Bledeg. Suradi dilahirkan
pada tahun 1921 di Musuk, Boyolalisejak kecil ia tertarik mempelajari berbagai
ilmu kesaktian yang dilihatnya di beberapa tempat ziarah di daerah sekitar
tempat tinggalnya. Bahkan sampai berkelana ke Madiun, Kediri dan Gunung Kidul
untuk memperdalam kesaktiannya. Setiap makam yang dianggap keramat ias selalu
berkunjung dan bertapa agar mendapatkan kekuatan gaib. Suradi yang mempunyai
perawakan tinggi besar dan suaranya yang lantan dijuluki bledeg yang berarti
suara petir.
Kemudian nama bledeg dipakai dalam
dirinya sebagai nama belakang, yakni menjadi Suradi Bledeg. Dengan dukungan
badan besar dan suara lantang, ia cakap dalam berpidato dan dipercayalah
sebagai benggol. Ketika Suradi bergabung dengan organisasi yang bernama Merapi
Merbabu Complex (MMC), ia menjadi pusat perhatian dan mendapatkan kepercayaan
memimpin gerakan ini. Dengan masuknya Suradi ke MMC adalah mencari legitimasi
terhadap aksi perbanditan dan termotivasinya atas kekecewaan terhadap program
rasionalisasi oleh Hatta. Hal itu dikarenakan Suradi pernah menjadi laskar
rakyat yang kemudian ia menganggur setelah dilaksanakannya program
rasionalisasi.
Atas kekecewaannya, Suradi memimpin
gerakan-gerakan kriminal di lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Sebagian besar
yang dahulu pernah menjadi laskar rakyat bergabung dalam anggota MMC. Adapun pejuang Korban Rasionalisasi
yang merupakan program pemerintah Hatta yang menghendaki adanya sistem
organisasi angkatan perang yang professional. Peristiwa ini terjadi di masa
Revolusi, di mana sistem keuangan belum begitu jelas dan stabil, maka program
ini dilaksanakan dengan cara meminimalisir jumlah tentara, peleburan divisi dan
penyesuaian pangkat dalam ketentaraan. Banyak tentara yang dipecat yang
bercasal dari lascar pejuang yang tidak disiplin.
Hal
tersebut meninggalkan luka dalam tubuh angkatan perang, terbukti dengan adanya
perlawanan dengan cara korupsi dan timbulnya persitiwa-peristiwa yang
meresahakan warga. Beberapa pasukan yang terkena imbasnya dari program
rasionalisasi baik yang berlatar belakang tidak disiplin ternyata
pasukan-pasukan dari sayap kiri ataupun alasan lainnya merasa frustasi dan
tertekan, mereke merasa belum siap kembali ke desa. Atas hal tersebut maka
muncul aksi kriminalitas di desa maupun di kota dengan memanfaatkan revolusi
sosial. Kejahatan yang timbul menuju terhadap kraton, pamongpraja, orang kaya
dan orang Cina.
Orang-orang
yang terkena imbas rata-rata bergabung dengan organisasi MMC. Bukan hanya
kekecewaan terhadap program rasionalisasi, akan tetapi juga karena terhadap
pembersihan orang-orang komunis dalam peristiwa Madiun. Dalam organisasi MMC
kebanyakan pejuang-pejuang berideologi komunis dan juga organisasi luar MMC
rata-rata pejuang komunis. Selain MMC dan para pejuang yang lainnya yang
terkena imbas rasionalisasi pun ikut serta melakukan aksi kriminalitas untuk
memanfaatkan status mereka sebagai pejuang untuk menguntungkan keuntungan
pribadi.
Di masa revolusi,
khususnya di daerah Surakarta banyak sekali terjadi aksi-aksi kriminalitas,
aksi ini terbagi menjadi 3 nama, yakni:
-
Penggedroran
-
Koyok
-
Grayak
Pergerakan aksi-aksi
kriminalitas ini terjadi karena krisis kepemimpinan yang menimbulkan kekosongan
kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol wilayah desa oleh
benggol, kebanyakan di pedesaan karena di perkotaan dikuasai kekuatan lain
yaitu badan-badan perjuangan. Aksi-aksi kriminalitas ini mempunyai target,
yaitu orang pribumi kaya, orang Cina dan pegawai pemerintah kraton.
Sumber:
Kartono, Kartini. 2001.
Patologi Sosial.
Jilid I Edisi Baru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar