Kamis, 29 November 2012

”Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”


Pertama saya akan membahas gambaran tentang norma sebagai pengantar. Tingkah laku pribadi yang normal ialah: perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia berada; sesuai pula dengan norma-norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasi personal dan interpersonal yang memuaskan. Tingkah laku abnormal/menyimpang ialah: tingkah laku yang adekwat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada.
Dalam beberapa pendekatan lain patologi sosial dikenal juga dengan istilah di antaranya: masalah sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, maladjustment, abnormal, sociatri dan sociopathic, yang secara umum pengertiannya adalah sama yakni bentuk-bentuk fenomena perilaku masyarakat yang menyimpang, berbeda dari aturan dan kesepakatan norma kelompok, sakit dan tidak normal.
1). Approach Biologis yakni pendekatan biologis, sosiopatik dalam hal ini terfokus pada bagian genetik yang beranggapan bahwa,
            a. patologi itu menurun melalui gen/plasma pembawa sifat
                di dalam keturunan, kombinasi dari gen-gen atau tidak
                adanya gen-gen tersebut.
            b. Ada pewaris umum melalui keturunan yang
                menunjukkan tendensi untuk berkembang ke arah
                pathologis (tipe kecenderungan yang luar biasa
                abnormal.
            c. Melalui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah,
                yang akan berkembang ke arah tingkah laku sosiopatik.
2). Approach Psychologist dan Psychiatris
              Pendekatan psikologi dalam memahami tingkah laku sosiopatik atau individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain karena faktor-faktor atribut personal di antaranya kemampuan dan perkembangan kompetensi individu dalam; intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru, internalisasi yang salah. Sedangkan pendekatan Psikiatri berdasarkan teori konflik emosional dan kecenderungan psikopatologi yang ada di balik tingkah laku menyimpang.
3). Approach Sosiologis
             Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat dan waktu tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak setuju”.
            Reaksi dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregasi, (pengucilan/pengasingan), pengucilan, contoh: mafia (komunitas mafia dengan perilaku pengedar narkoba, korupsi).
Dalam kajian patologi sosial perilaku sosiopatik dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu diferensiasi dan deviasi yakni perbedaan dan penyimpangan. Sedang deviasi dari fungsinya dibedakan pada:
  1. Deviasi individual yakni bersumber pada faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu.
  2. Deviasi Situasional yakni karena pengaruh kekuatan-kekuatan situasi di luar individu dimana situasi tersebut merupakan bagian integral, misal karena lapar orang mencuri, karena patah hati orang melacur, dll.
  3. Deviasi sistematik yakni pada hakekatnyaadalah sub kultur atau satu sistem tingkah laku, disertai organisasi sosial khusus, status formal, pikiran-pikiran tentang nilai-nilai rasa kebangsaan, norma dan moral tertentu yang berbeda dengan situasi umum.
Atau dalam bahasa lain semua pemikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisasikan atau dibenarkan oleh semua pemikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisasikan atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu sehingga penyimpangan atau deviasinya terkesan terorganisir dan sistematik, misal para teroris, mafia hukum, bandar narkoba, dll.
Setelah membaca buku Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan BAB III, peristiwa terjadinya beberapa penyimpangan sosial sekitar pasca kemerdekaan, di mana pada masa itu situasi ekonomi yang paling menonjol. Beberapa penyimpangan sosial yang terjadi seperti munculnya pencopetan, pencurian, candu dan lahirnya uang palsu merupakan jenis kriminalitas. Hal itu adalah penyimpangan sosial, sebuah penyakit masyarakat. Penyakit masyarakat ini biasa disebut patologi sosial dalam hal akademis atau kaum intelektual. Dan penyimpangan sosial disebut deviasi. Penyakit masyarakat tidak mungkin muncul tanpa ada sebab.
Dilihat secara kronologis peristiwa ini terjadi di masa revolusi, di mana kemerdekaan baru diraih. Pembangunan dalam segala aspek baru dimulai. Penyakit masyarakat yang timbul ini karena faktor ekonomi.  Di masa awal revolusi masih banyak berkeliaran jenis mata uang, seperti NICA dan ORI. Hal tersebut membingungkan masyarakat dalam hal jual beli. Terutama terhadap nilai jual dan perbandingan terhadap Rupiah. Maka segala usaha pemerintah dan beberapa organisasi menyediakan sarana seperti sejenis Bank untuk pinjaman.
Hal ini dikatakan tidak berhasil, karena upah yang diterima pekerja tidak sesuai dengan apa yang diterimanya. Ketidakjelasan jenis mata uang yang dipakai ini menimbulkan banyak masalah. Bahkan dengan adanya Bank tidak bisa mengantisipasi dan hanya bersifat sementara. Penyakit masyarakat mulai timbul dengan beredarnya uang palsu dan penimbunan uang receh, penimbunan barang dan kriminalitas. Dalam hal penimbunan barang, lascar-laskar mengeluarkan peraturan dengan membatasi kuota dan masa aktif barang yang akan dijual, maka dari itu banyak muncul pencopet dan pencuri.
Kemudian candu, candu dibawa oleh orang Arab ke Indonesia sudah sejak abad ke-19 melalui pedagang. Khususnya di Surakarta peredaran candu ini berasal dari bandar-bandar asal Cina. Terjadi dualism terhadap pemerintah di Surakarta ini mengenai Candu. Lembaga diizinkan memperjual-belikan candu sedangkan masyarakat tidak diizinkan.
Dari beberapa penyakit masyarakat itu menurut saya wajar terjadi seperti itu karena pada hal tersebut terjadi di masa awal Revolusi. Setelah merdeka, Soekarno yang anti Barat menolak bantuan dari Negara-negara Barat. Keidealisan itu sendiri membawa petaka yang seperti itulah hasilnya dengan timbulnya penyakit masyarakat. Meskipun tak menjamin juga ketika menerima bantuan dari Barat mungkin akan meminimalisisr untuk mengendalikan pembanguna perekonomian. Soekarno yang pada masa itu ingin berdiri sendiri menegakan Indonesia mesti bersusah payah mengoptimalkan keadaan ini dengan mengeluarkan beberapa aturan dan pasal undang-undang untuk mengatur masyarakatnya supaya sejahtera. Penyakit masyarakat bermunculan dengan tingkat keamanan juga belum stabil. Polisi yang pandangannya selalu negative oleh masyarakat tidak bisa apa-apa dengan keterbatasan sumber daya manusia dan jumlah. Masyarakat menilai polisi hanya akan mementingkan kepentingan pemerintah seperti halnya yang dilakukan Jepang dan Belanda, maka dari itu masyarakat selalu memandang polisi itu dianggap jelek, bahkan sampai saat ini saya kira.
 
Dilihat dari demografi politik di Surakarta, jelas sangatlah riskan. Ketika Ibu Kota dari Jakarta sementara dipindahkan ke Yogyakarta sesuai penawaran Sultan kepada Soekarno. Pada masa itu sangatlah genting, sehingga Sultan menawarkan untuk tempat berpindahnya Ibu Kota. Di masa Revolusi, seperti halnya telah ditugaskan di bab tiga yakni di mana situasi keadaan pembanguan ekonomi yang ambruk. Padahal Negara Barat menawarkan bantuan, tetapi Soekarno menolaknya. Alhasil beberapa penyakit masyarakat muncul, terutama di Surakarta. Ketika Ibu Kota pindah ke Yogyakarta, otomatis segala bentuk aktivitas politik selalu mengarah ke Ibu Kota itu berada.
Organisasi-organisasi revolusioner membawa bentuk ideologi struktur politik baru, tepatnya mobilitas politik. Dengan segala bentuk perbedaan pendapat banyak menimbulkan konflik yang tak terelakan di Surakarta, terutama antara golongan tua dan golongan muda. Terjadi penculikan para pemimpin Keraton Kasunanan dan Mangkunegaraan yang dilakukan kaum oposisi, yakni Barisan Banteng. Beberapa wewenang direbut oleh Barisan Banteng. Sementara Yogyakarta masih dikuasai pemerintah dan Surakarta dikuasai oleh kaum oposisi.
Konflik kekuatan politik di Surakarta bagaikan kompetisi dengan timbulnya kekerasan. Meskipun kaum oposisi menguasai Surakarta, mereka belum mampu mengalahkan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Surakarta merupakan daerah kacau dengan kekerasan dan tindakan criminal. Aksi pengrusakan, penculikan dan pembunuhan sislih berganti sebagai bagian dari konflik politik.
Bahkan para petani sempat terpengaruh oleh oposisi yang melakukan pemogokan besar-besaran. Kekerasan di antara kekuatan politik di Surakarta semakin sengit. Terjadi pertempuran-pertempuran antara Pasukan Panembahan Senopati dan SIliwangi. Tindakan kriminal yang terjadi di Surakarta merambah masuk ke pedesaan-pedesaan. Oposisi yang merebut kekuasaan di Keraton, menganggap bahwa pihak Keraton dekat dengan pihak asaing, terutama Belanda. Bahkan hampir semua organisasi dan badan perjuangan melihat Keraton membela kepentingan Belanda.  Kesatuan militer TNI lah yang menjadi basis pelaku penculikan terhadap pamongpraja, pegawai pemerintah dan Cina. Adapun oknum yang mengikuti aksi untuk kepentingan pribadinya.
Untuk jenis kriminal pembunuhan, banyak dilakukan oleh para pemberontak. Organisasi politik dan badan keamanan disibukkan dengan menangkapa para pemberontak dan mesti menghukum mati para pemberontak. Target pembunuhan ini tidak beda jauh adalah pamongpraja dan orang Cina. Penjarahan dan pembakaran pun merajalela. Seiring dengen memanasnya keadaan politik akibat dari peristiwa di Madiun, muncul gerakan-gerakan kriminal dengan penjarahan harta Keraton. Beberapa gedung pemerintahan pun menjadi korban tindakan yang dilakukan oleh gerombolan TNI. Cina yang menjadi target utama dalam penjarahan ini. Toko, rumah sampai pedesaan dibakar dan dijarah hartanya.



Perbanditan dan Penggedoran

            Di zaman revolusi, Indonesia mengalami keadaan yang sangat kritis dan rentan terhadap kriminalitas. Ada istilah jagoan yang dihadapkan antara pilihan, apakah mau menjadi seorang kriminal atau seorang revolusioner. Revolusioner yang patriotis dengan mempunyai sikap seorang jiwa pahlawan dianggap agung. Berbeda dengan seorang kriminal yang mempunyai kepentingan pribadi dianggap penjahat. Seorang kriminal melihat masa revolusi ini sebagai peluang untuk melakukan aksi kejahatan. Pemimpin bandit berusaha melegalisasikan untuk revolusi dengan mengimitasi status kelembagaan melewati penguasa. Dengan gerakan revolusioner atau badan-badan perjuangan dijadikan alat teror untuk kekuasaannya.
            Membentuk suatu organisasi yang sistematis dengan membalikkan nilai-nilai norma merupakan esensi dari kegiatan perbanditan. Bandit adalah penentang hukum secara individual maupun kelompok. Menurut Hobsawm bandit adalah seseorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Bandit dibedakan menjadi empat, yaitu:

- Perampok berkawan
- Seorang yang mencuri, membunuh dengan secara kejam dan tanpa rasa malu (gangster)
- Seorang yang mendapat keuntungan dengan tidak wajar
- Musuh
  
           Para bandit memanfaatkan situasi kacau untuk kepentingannya di zaman Revolusi Indonesia, terutama di Surakarta dengan menggedor, menjarah, dan mencuri harta orang laian. Targetnya adalah pamongpraja, pribumi kaya dan orang-orang Cina kaya. Aksi ini dilakukan sebagai protes sosial atas eksploitasi terhadap swapraja Surakarta dengan mengambil paksa harta kraton. Penggedoran adalah bentuk kegiatan yang dilakukan sekelompok irang bersenjata untuk mengambil sesuatu milik orang lain dengan kekerasan. Istilah benggol dipakai untuk pemimpin gedor yang disegani anak buahnya yang mempunyai otoritas wibawa, yakni kharisma yang dimilikinya.
            Benggol ini mempunyai kesaktian tinggi, dan dapat merekrut pengikutnya berdasarkan loyalitasnya terhadap pemimpin. Dengan kelebihan lebih dari pengikutnya, dalam hal apapun layaknya seorang pendata yang memberi wejangan dan tempat bertanya terhadap masalah di pedesaan, secara fisik maupun spiritual. Seorang benggol sering bersikap ramah terhadap masyarakat dengan memberi pertolongan untuk mendapatkan simpati, seperti pengobatan penyakit dengan ilmu tradisional. Seorang bandit bukan sembarang orang, karena untuk mendapatkan ilmu yang tinggi ada sebuah metode tersendiri dengan berpuasa dan berziarah di makam keramat.
            Semakin lama dan semakin sering hal itu dilakukan, maka semakin tinggi pula ilmu yang diraihnya. Oleh karena itu bandit yang ingin menjadi benggol disegani pengikutnya dan musuhnya serta mendapatkan simpati dan kepercayaan. Loyalitas sudah tidak diragukan lagi, tugas benggol dalam aksi kejahatannya dibantu oleh seorang wukul sebagai pembantu utamanya. Dengan wilayah kekuasaan yang luas, maka wukul akan diangkat menjadi seorang lurah untuk menjalankan roda pemerintahannya. Dalam hal ini terjadi persaingan antara wukul di wilayah lainnya, terutama dalam hal kekuasaan dan perebutan wanita.
           
            Hal yang mendukung berkembangnya seorang benggol disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Tingginya ilmu
- Luas wilayah kekuasaan
- Besarnya jumlah pengikut
- Keroyalan penggunaan uang
- Banyaknya wanita simpanan

            Di Surakarta pada masa revolusi banyak benggol yang terkenal, salah satunya Suradi Bledeg. Suradi dilahirkan pada tahun 1921 di Musuk, Boyolalisejak kecil ia tertarik mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang dilihatnya di beberapa tempat ziarah di daerah sekitar tempat tinggalnya. Bahkan sampai berkelana ke Madiun, Kediri dan Gunung Kidul untuk memperdalam kesaktiannya. Setiap makam yang dianggap keramat ias selalu berkunjung dan bertapa agar mendapatkan kekuatan gaib. Suradi yang mempunyai perawakan tinggi besar dan suaranya yang lantan dijuluki bledeg yang berarti suara petir.
            Kemudian nama bledeg dipakai dalam dirinya sebagai nama belakang, yakni menjadi Suradi Bledeg. Dengan dukungan badan besar dan suara lantang, ia cakap dalam berpidato dan dipercayalah sebagai benggol. Ketika Suradi bergabung dengan organisasi yang bernama Merapi Merbabu Complex (MMC), ia menjadi pusat perhatian dan mendapatkan kepercayaan memimpin gerakan ini. Dengan masuknya Suradi ke MMC adalah mencari legitimasi terhadap aksi perbanditan dan termotivasinya atas kekecewaan terhadap program rasionalisasi oleh Hatta. Hal itu dikarenakan Suradi pernah menjadi laskar rakyat yang kemudian ia menganggur setelah dilaksanakannya program rasionalisasi.
           
            Atas kekecewaannya, Suradi memimpin gerakan-gerakan kriminal di lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Sebagian besar yang dahulu pernah menjadi laskar rakyat bergabung dalam anggota MMC. Adapun pejuang Korban Rasionalisasi yang merupakan program pemerintah Hatta yang menghendaki adanya sistem organisasi angkatan perang yang professional. Peristiwa ini terjadi di masa Revolusi, di mana sistem keuangan belum begitu jelas dan stabil, maka program ini dilaksanakan dengan cara meminimalisir jumlah tentara, peleburan divisi dan penyesuaian pangkat dalam ketentaraan. Banyak tentara yang dipecat yang bercasal dari lascar pejuang yang tidak disiplin.
         Hal tersebut meninggalkan luka dalam tubuh angkatan perang, terbukti dengan adanya perlawanan dengan cara korupsi dan timbulnya persitiwa-peristiwa yang meresahakan warga. Beberapa pasukan yang terkena imbasnya dari program rasionalisasi baik yang berlatar belakang tidak disiplin ternyata pasukan-pasukan dari sayap kiri ataupun alasan lainnya merasa frustasi dan tertekan, mereke merasa belum siap kembali ke desa. Atas hal tersebut maka muncul aksi kriminalitas di desa maupun di kota dengan memanfaatkan revolusi sosial. Kejahatan yang timbul menuju terhadap kraton, pamongpraja, orang kaya dan orang Cina.
      Orang-orang yang terkena imbas rata-rata bergabung dengan organisasi MMC. Bukan hanya kekecewaan terhadap program rasionalisasi, akan tetapi juga karena terhadap pembersihan orang-orang komunis dalam peristiwa Madiun. Dalam organisasi MMC kebanyakan pejuang-pejuang berideologi komunis dan juga organisasi luar MMC rata-rata pejuang komunis. Selain MMC dan para pejuang yang lainnya yang terkena imbas rasionalisasi pun ikut serta melakukan aksi kriminalitas untuk memanfaatkan status mereka sebagai pejuang untuk menguntungkan keuntungan pribadi.

Di masa revolusi, khususnya di daerah Surakarta banyak sekali terjadi aksi-aksi kriminalitas, aksi ini terbagi menjadi 3 nama, yakni:
-          Penggedroran
-          Koyok
-          Grayak

Pergerakan aksi-aksi kriminalitas ini terjadi karena krisis kepemimpinan yang menimbulkan kekosongan kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol wilayah desa oleh benggol, kebanyakan di pedesaan karena di perkotaan dikuasai kekuatan lain yaitu badan-badan perjuangan. Aksi-aksi kriminalitas ini mempunyai target, yaitu orang pribumi kaya, orang Cina dan pegawai pemerintah kraton.

Sumber:
Kartono, Kartini. 2001.
Patologi Sosial. Jilid I Edisi Baru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar