Pada tahun 1937-1951 merupakan episode terpenting sebagai tahun-tahun
abnormal dalam sejarah ekonomi Jepang Modern. Di bulan Juni terjadi peristiwa
besar, yaitu pecahnya perang dengan Cina pada tahun 1937 yang berkelanjutan
berkisar delapan tahun sampai dengan berakhirnya Perang Pasifik, kemudian yang
kedua tahun-tahun pendudukan dimulai dengan menyerahnya Jepang pada tanggal 15
Agustus 1945 sehingga Jepang mengambil keputusan dengan recovery kedaulatan
pada bulan April 1952 dan yang terakhir dari tahun ini adalah tahun1950
merupaka tahun terakhir pendudukan sepenuhnya. Pada awal tahun 1937 terjadai
peristiwa titik balik yang penting dalam perkembangan ekonomi. Pertama, dengan
melepaskan ortodoksi keuangan yang dibangun oleh Matsukata pada pertengahan
tahun 1880-an yang kemudian digunakan sebagai alat untuk mempertahankan
stabilitas harga.
Sejak tahun 1931-1936 terjadi peningkatan pemerintah yang bersifat
moderat, sebab orang seperti Takahashi Korekiyo (ahli keuangan konservatif)
sangat keberatan dengan meningkatnya dana militer yang dibiayai oleh
pengeluaran obligasi. Tetapi pada akhir tahun 1936, orang-orang konservatif
yang berpengaruh mengalami nasib, dibunuh atau dipaksa harus mengubah sikap
mereka. Kaum militer mengamuk dan pemerintah mulailah meningkat dengan sangat
pesat. Dari tahun 1936 sampai 1937, jumlah pengeluaran pemerintah naik lebih
dari dua kali lipat, dan selama waktu tiga tahun berikut jumlah itu pun
melonjak dua kali lipat lagi. Peristiwa penting yang kedua terjadi dalam tahun 1937
adalah dikeluarkannya undang-undang yang memberi kekuasaan kepada pemerintah
untuk menjalankan pengawasan langsung terhadap kehidupan perekonomian.
Segera setelah pecah perang dikeluarkan tiga buah keputusan penting.
Undang-undang Mobilisasi Persenjataan (juga pernah diberlakukan selama PD I),
dinyatakan berlaku kembali untuk masa perang yang sekarang. Berdasarkan
undang-undang ini, pemerintah berkuasa mengambil tindakan-tindakan mobilisasi
demi peningkatan produksi senjata. Kemudian Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan
Sememtara Pengawasan Ekspor-Impor. Undang-undang ini memberikan kepada
pemerintah kekuasaan mutlak terhadap ekspor-impor. Yang berikut adalah
Undang-undang Penyesuaian Sementara. Undang-undang ini menentukan bahwa modal
dan kredit hanya boleh disalurkan untuk industri yang berkaitan dengan perang.
Untuk industri-industri yang sifatnya non-esensial harus dihentikan.
Merasa masih tidak puas dengan
hanya peraturan-peraturan ini, pada bulan April tahun 1938 kaum militer
mengadakan tekanan terhadap pemerintah agar mengeluarkan Undang-undang
Mobilisasi Nasional. Undang-undang ini memberi kekuasaan kepada pemerintah
untuk mengadakan pengawasan terhadap harga dan upah, serta untuk menetapkan
pengawasan atas distribusi. Demikianlah hanya dalam jangka waktu beberapa bulan
saja setelah perang pecah, peraturan perundang-undangan yang perlu untuk
menggerakan mobilisasi ekonomi tersedia. Mungkin ada yang mempersoalkan bahwa
memilih tahun 1937 sebagai titik balik adalah terlampau kurang mendasar, dengan
alasan bahwa pengawasan pemerintah itu sesungguhnya sudah ada sejak aawal
1930-an.
Undang-undang Pengawasan Industri Besar misalnya, yang dikeluarkan
tahun 1931 adalah mendorong pembentukan kartel dalam lapangan usaha yang
penting, yang bertujuan agar memperlancar pengawasan pemerintah. Tahun 1933
dikeluarkan Undang-undang Pengawasan Devisa, yang maksudnya membatasi impor
barang-barang non-esensial. Diakui bahwa undang-undang tersebut di atas memang
meningkatkan ruang lingkup campur tangan pemerintah, tetapi mereka tidak sama
sekali bermaksud untuk menghapus sistem harga, di mana ekonomi masyarakat
kemudian akan diurus berdasarkan cara komando. Sebagai contoh, dalam industri
besi baja yang merupakan prioritas utama, agar sesuai dengan semangat
Undang-undang Pengawasan Industri Besar, telah dibentuk sebuah perusahaan baru
bernama Japan Steel Manufacturing dengan cara melebur Yahata Steel dengan sejumlah
perusahaan swasta lainnya.
Perusahaan baru ini menguasai 90% produksi besi gubal, tapi produksi
baja hanya 50%. Perusahaan-perusahaan yang tidak memilih untuk peleburan,
memiliki tingkat kebebasan yang cukup luas dalam hal produksi baja. Setelah
pecahnya perang tahun 1937, pengawasan pemerintah atas produksi dan konsumsi
diperluas pula terhadap perusahaan. Tapi sungguhpun demikian barulah akhir
tahun 1941, yaitu ketika Asosiasi Kontrol Besi dan Baja terbentuk, pemerintah
sungguh-sungguh melaksanakan pengawasan yang ketat terhadap industri (Asosiasi
ini juga dibentuk sejalan dengan Ordonansi Asosiasi Industri Besar yang dikeluarkan
sesuai dengan wewenang pemerintah untuk melakukan mobilisasi). Mengingatnya
kekacauan ekonomi yang terjadi akibat Perang Pasifik, agaknya bisa timbul
dugaan bahwa selama berlangsungnya perang itu, pastilah terjadi kemerosotan
dalam pendapatan.
GNP riel memang turun, tapi ini baru terjadi pada akhir tahun terakhir
peperangan. Menurut kenyataan selama periode 1940-1944 malah terjadi kenaikan
sebesar 25%. Tapi kenyataan demiakian tidak lantas berarti, bahwa selama
periode tadi kesejahteraan ekonomi masyarakat telah meningkat. Soalnya
komnponen utama yang naik hanya anggaran belanja militer (naik sekitar 430%).
Adapun konsumsi merosot sebesar 30%. Selain itu kenaikan GNP riel tadi karena
dipergunakannya barang-barang nonmiliter, dan juga karena mobilisasi
terhadap mereka yang ada di dalam
keadaan normal tidak bekerja. Sehingga jika dilihat dari semua angka indeks
yang bisa diterima, selama periode tersebut sesungguhnya telah terjadi
kemerosotan secara substansial dalam tingkat kemakmuran.
Juga perlu untuk diketahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur industri selama perang. Produksi industri ringan, yang terutama dari
barang-barang non-esensial itu merosot, baik secara mutlak amupun secara
relatif. Terjadinya kemerosotan tersebut sebagian besar akibat adanya dua buah
undang-undang yang membatasi produksi barang-barang non-esensial. Kedua
undang-undang itu dikeluarkan setelah pecah perang dalam tahun 1937. Produksi
tekstil katun misalnya, yang sampai akhir periode terdahulu memperlihatkan pertumbuhan
yang baik, amat menurun sesudah september 1937. Ini terjadi ketika Undang-undang
tentang Ketentuan-ketentuan Semantara Pengawasan Ekspor-Impor mengizinkan impor
bahan katun hanya untuk pakaian yang diekspor.
Produksi terus menurun, setelah impor katun menjadi sulit dengan
pecahnya Perang Pasifik. Dalam tahun 1944 tingkat produksi tekstil hanya
sekitar 90% dari angka tertinggi yang dicapai pada pertengahan tahun1937.
Sebaliknya sampai pertengahan tahun 1944, sebagai akibat kebijaksanaan
pemerintah yang menempatkan seluruh baja, metal non-ferous serta segala mesin
ke dalam usaha perang, produksi industri berat jadi meningkat. Adanya prioritas
ini, maka saham industri berat terhadap seluruh produksi industri terus naik,
dari 50% pada tahun 1936 menjadi lebih 70% dalam tahun 1942. Karena ketatnya
pengawasan pemerintah terhadap ekonomi, terjadilah suatu perkembangan lain yang
penting. Untuk menciptakan pengawasan ekonomi yang lebih efeltif dan untuk
mencapai tingkat efisiensi yang lebih besar dalam penggunaan sumber-sumber yang
langka, pemerintah lebih menyukai berurusan dengan sejumlah kecil perusahaan
besar.
Serta bersenjatakan peraturan-peraturan tentang mobilisasi, mengadakan
tekanan-tekanan agar dilakukan merger. Lebih lanjut kenyataan ini meningkatkan
lagi kekuasaan ekonomi para zaibatsu. Mereka berada dalam kedudukan yang
menguntungkan untuk menarik manfaat dari kebijaksanaan pemerintah itu. Bukan
hanya oleh karena besarnya perusahaan mereka dan bisa mengambil inisiatif dalam
persoalan penggabungan (merger), tetapi juga karena mereka dapat menggunakan
kekuasaan politik untuk mempengaruhi panitia-panitia negara ataupun
asosiasi-asosiasi industri yang bertugas langsung menangani urusan merger. Indonesia
dijadikan tujuan Jepang untuk memenuhi kebutuhannya yaitu ekonomi dan tenaga
kerja serta militer untuk memperkuat armadanya. Namun, Indonesia pada saat itu
dikuasi Belanda, Jepang mesti bersusah payah mengalahkan dan mengusir Belanda
dari Indonesia.
Pada 4 Maret 1942 tentara Belanda meninggalkan Batavia, takluk pada
Jepang. Keesokan harinya, sesudah matahari terbenam, ibukota Hindia Belanda
jatuh ke tangan pendudukan Jepang. Batavia diganti menjadi Jakarta. Aksi
pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang guna mendapatkan simpati
rakyat adalah Gerakan Tiga A:
1.
Nippon (Jepang) pemimpin Asia.
2.
Nippon pelindung Asia.
3.
dan Nippon cahaya Asia.
Semua penduduk di daerah yang telah ditaklukkan Jepang setiap pagi
wajib memberi hormat pada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90 derajat
yang disebut Saikerai ke arah utara dan timur, tempat kaisar Jepang berada dan
tempat matahari terbit. Tidak ada yang bisa menandingi matahari. Barangsiapa
yang berani melawannya akan menerima nasib seperti salju yang mencair di sinar
matahari, kata mereka. Banyak ulama yang menetang keras kewajiban ini karena
dianggap musyrik. Kedatangan tentara Jepang pada awalnya disambut hangat. Apalagi
negeri matahari terbit itu menjanjikan kemerdekaan dengan slogan, Asia telah dikembalikan
kepada bangsa Asia. Malahan seminggu setelah menguasai Jakarta,
surat kabar “Tjahaja Timoer” memuat berita usulan mengenai kabinet
yang akan terdiri dari orang Indonesia.
Diusulkan nama-nama yang akan masuk anggota Kabinet Indonesia ini,
antara lain PM Abikoesno Tjokrosoejoso, Wakil PM Ir Soekarno, Menlu Dr
Soedjono, Menteri Ekonomi Drs Moh Hatta, Menteri Pendidikan Ki Hadjart
Dewantara, dan Menteri Agama KH Mansyur. Tetapi, keesokan harinya bagian Pers
dan Dinas Propaganda Jepang menyatakan berita tersebut tidak benar. Ali Satiri
menuturkan, barang-barang makanan, di mana-mana sudah tidak ada lagi. Kalaupun
ada, itu pasti kami peroleh dari cara gelap dan jumlahnya tak banyak, hanya
untuk makan sehari-dua hari saja. Seorang camat, Soedjono Hadipranoto
mengisahkan, semua barang yang diperlukan oleh militer Jepang diambil dan
ditempeli tulisan Milik
Dai Nippon. Seorang ibu
rumah tangga yang mengalami masa pendudukan Jepang menuturkan, kesulitan
memperoleh beras dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari menyebabkan
masyarakat dalam kota melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, sekalipun
sudah dalam kondisi paling rendah.
Untuk sekadar mengganjal perut, banyak orang menjual perabotan rumah
tangga, dan sebagian lain mendatangi pasar loak atau barang bekas. Waktu itu
pemerintah Jepang tidak mengizinkan orang di dalam rumah tangga mempunyai lebih
empat kilo beras. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari rumah ke rumah. Kalau
ketahuan melebihi ketentuan, ditangkap. Yang paling ditakuti masyarakat adalah
Kompetai atau polisi rahasia Jepang. Selain itu, Jepang juga memiliki mata-mata
yang diberi nama Kipas Hitam. Banyak di antara mereka adalah wanita penghibur. Pada
masa pendudukan Jepang hampir tiap malam lampu dimatikan, dengan alasan ada
serangan musuh yaitu pasukan sekutu dan Amerika Serikat. Pemadaman listrik ditandai
dengan teriakan, “Kusyu-keiho!” berulang-ulang dari peronda malam.
Penduduk yang ketakutan mematikan lampu dan masuk ke lubang perlindugan
yang berada di halaman tiap rumah. Saat berada di lubang perlindungan semua
orang diwajibkan menggigit sebuah karet bundar setebal lima cm seperti layaknya
petinju. Maksudnya, bila musuh melakukan pemboman kita harus menggigitnya
keras-keras. Akibat kelaparan, orang sudah menganggap biasa bila melihat ada
yang sakit parah berada di tepi jalan menunggu kematiannya tiba. Para pengemis
mengais sisa-sisa makanan dan kalau ada di tempat-tempat sampah. Waktu itu
banyak rakyat memakai pakaian dari karung goni dan kain dari karet. Tidak
tersedianya obat-obatan karena disembunyikan oleh Jepang untuk keperluan perang
mereka. Banyak orang sakit di mana-mana tanpa pertolongan sama sekali dari
pemerintah. Kekuatan invasi Jepang di Jawa berjumlah 6 sampai 8 divisi atau 100
sampai 120 ribu orang.
Selama tiga setengah tahun tanpa disertai istri dan dalam suasana
perang, untuk memenuhi kebutuhan biologis, mereka memerlukan wanita. Jugun ianfu
adalah istilah yang digunakan untuk merujuk wanita penghibur yang terlibat
dalam perbudakan seks selama perang dunia II. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk kebutuhan seksual tentara Jepang
yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya. Mereka
direkrut menjadi jugun
ianfu secara paksa diambil begitu saja di jalan atau di rumah
mereka, diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain
sandiwara.
Kembali lagi ke masalah ekonomi Jepang seteleh mengusirnya Belanda di
Indonesia pada tahun 1942. Sejak tahun 1943 sampai tahun 1944 total output
meningkat, pengadaan bahan mentah untuk produksi baja dan produksi metal
non-ferous kian bertambah sulit. Akibatnya dari tahun 1943 sampai tahun 1944
produksi sedikit menurun walau telah dilakukan usaha untuk mengatasinya. Adapun
peningkatan menyeluruh dari tahun 1943 sampai pertengahan tahun1944 itu, hanya
mungkin terjadi dengan penggunaan cadangan yang tersedia, serta peningkatan
produksi mesin dan barang-barang jadi lainnya. Pada pertengahan tahun 1944
Jepang kehilangan supremasi angkatan lautnya dan terputus dari wilayah
kekuasaannya di seberang lautan, yang merupakan sumber bahan mentah. Akibatnya
produksi bahan-bahan dasar mulai menurun dengan cepat dan selanjutnya akan
mempengaruhi produksi barang-barang jadi.
Pada awal tahun 1945 terjadi kekurangan yang akut dari minyak, bauksit
bijih besi dan bahan mentah esensial lainnya. Kemudian serangan bom yang intensif
selama bulan-bulan terakhir peperangan, memberikan pukulan final terhadap
ekonomi yang sudah goyah itu. Pada tanggal saat Jepang menyerah, keadaan
ekonomi semakin terpuruk dan kocar-kacir. Pada bulan Agustus 1945 produksi
industri merosot. Jumlahnya hanya merupakan persentase yang kecil jika
dibandingkan dengan tingkat produksi tahun sebelum itu, dan hanya sekitar 10%
apabila dibandingkan dengan tingkat produksi 1934-1936. Produksi pangan yang
tadinya bisa dipertahankan pada tingkat yang relatif agak tinggi, sekalipun
dalm keadaan kekurangan tenaga manusia
dan pupuk, dalam tahun 1945 turun sekitar 30%. Akibatnya pada akhir tahun itu
timbul krisis pangan yang berlangsung sampai awal pertama tahun 1946.
Kekurangan akan barang-barang jadi lebih diperhebat lagi oleh lumpuhnya
aparat pemerintah dalam mengumpulkan dan mendistribusi barang berdasarkan harga
yang sudah ditentukan. Kekalahan perang ini menhilangkan kepercayaan kepada
pemerintah dan menciptakan keadaan yang nyaris merupakan anarki. Usaha pemulihan
ekonomi dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang sukar. Pemboman Sekutu telah
menghancurkan sekitar 25% kekayaan nasional Jepang. Pemboman itu antara laian
menyebabkan terjadinya kekurangan perumahan yang amat luas di kota-kota besar.
Lepasnya daerah-daerah jajahan bukan hanya sekedar berarti bahwa sumber-sumber
alam tidak lagi dapat diperoleh secara konsesioner, tetapi juga berarti
kembalinya jutaan orang Jepang untuk mencari pekerjaan dan perumahan di pasar
dalam negeri yang sudah padat itu.
Harta milik Jepang di luar negeri sebelum perang menghasilkan
pendapatan dan merupakan basis untuk kegiatan-kegiatan disita. Selain itu,
permintaan pasukan pendudukan akan pelayanan seperti umpamanya perumahan dan
pengangkutan, harus juga dipenuhi. Selanjutnya perubahan-perubahan politik
negara-negara Asia yang sebelum perang merupakan pasar penting untuk ekspor
Jepang, menyuramkan harapan untuk dapat mempergunakan strategi industri dari
masa sebelum perang dalam usaha pemulihan ekonomi. Keadaan ekonomi pasca perang
yang kacau-balau itu, terlihat dalam hiperinflasi yang terjadi dari pertengahan
tahun 1945 sampai awal tahun 1949. Dalam beberapa bulan saja sebelum
penyerahan, tingkat harga sudah naik dengan cepat serta cukup mengkhawatirkan,
walaupun belum seberapa apabila dibandingkan dengan keadaan yang terjadi
sesudah itu.
Angka indeks harga konsumen (tahun 1945 selaku basis) naik menjadi 515
dalam tahun 1946, menjadi 1.655 dalam tahun1947, menjadi 4.857 dalam tahun 1948
dan 7.889 dalam tahun 1949 atau kenaikan total sekitar 8.000%. Untungnya
walaupun keadaan ekonomi begitu kacau, produksi meningkat. Dalam tahun 1948,
produksi industri berhasil mencapai 50% dari angka tahun 1934-1936, sedangkan
produksi pangan dapat sepenuhnya dipulihkan.
Tahun 1949 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan stabilisasi baru dengan
prioritas utama menyetop inflasi melalui pengurangan pengeluaran dalam anggaran
belanja dan kenaikkan pajak. Kebijaksanaan ini diperkuat lagi dalam bulan April
1949 dengan menetapkan adanya kurs tunggal, 360 yen : 1 dollar Smerika Serikat.
Adalah perlu bagi pemerintah untuk memonitor gerakan harga serta melakukan
penyesuaian-penyesuaian kebijaksanaan moneter untuk mempertahankan kurs yang
telah ditetapkan tadi.
Setelah kebijaksanaan ini ternyata efektif dalam menjamin stabilitas
ekonomi, pemerintah mulai menghapus berbagai kebijaksanaan yang bersifat
pengawasan langsung. Pertengahan tahun 1950 ekonomi pasar pada hakekatnya telah
berhasil dipulihkan. Kebijaksanaan stabilisasi tersebut membawa akibat buruk
bagi perusahaan yang manajemannya tidak baik, atau perusahaan-perusahaan yang
terlampau melebar. Tetapi secara keseluruhan, pengaruhnya terhadap perekonomian
adalah baik. Dalam tahun 1949 dan bagian awal tahun 1950, pemuliham ekonomi
berjalan dengan lancar. Dalam bulan Juni 1950 ketika pecah ‘Konflik Korea,
Jepang dipergunakan menjadi pangkalan suplai dan merupakan tempat ‘istirahat
dan bersantai’ bagi tentara Amerika. Permintaan akan barang dan jasa Jepang
naik membumbung, ekonomi mengalami Boom yang pertama dalam periode sesudah
perang.
Boom ini memulihkan ekonomi secara menyeluruh dan banyak perusahaan
yang berhasil memetik keuntungan yang besar. Sejumlah persentase dari jumlah
laba ini tetap ditahan di dalam perusahaan untuk kemudian dipergunakan mulai
ekspansi dan pembaruan pabrik, juga untuk mendatangkan teknologi dari luar
negeri. Pemulihan ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan pendudukan.
Mula-mula pihak Sekutu menjalankan kebijakasanaan non responsibility,
sebagaimana terlihat dalam sebuah perintah pada bulan November 1945 yang
ditujukan kepada Panglima Tertinggi Sekutu, yang berbunyi:
“Anda harus menjelaskan kepada rakyat Jepang, bahwa Anda tidak
berkewajiban untuk mempertahankan suatu tingkat hidup tertentu di Jepang.’
Pada tahun 1946 mulai diadakan bantuan pangan untuk menanggulangi
kelapran yang mengancam. Pada waktu itu Panglima Tertinggi Sekutu
sekurang-kurangnya telah mengambil tanggung jawab mencegah penyakit dan
keresahan. Dan pada akhir tahun memutuskan untuk membiarkan perekonomian kembali
pada tingkat sebelum perang. Sejalan dengan kebijaksanaan ini, diberikanlah
bantuan berupa minyak, bijih besi, batu bara dan bahan mentah lainnya yang
diperlukan industri Jepang. Kemudian pada akhir tahun 1948, Panglima Tertinggi
Sekutu sangat mendorong pemerintah Jepang untuk membuat
kebijaksanaan-kebijaksanaan guna menstabilkan ekonomi dan mengembangkan ekonomi
ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelum perang. Demikianlah dlam jangka waktu
tiga setengah tahun saja telah terjadi perubahan besar dalam kebijaksanaan
pendudukan, perubahan dari sikap non responsibility kepada sikap mendorong
pembangunan ekonomi.
Alasan pokok perubahan tersebut ialah karena Amerika Serikat yang pada
hakekatnya menentukan kebijaksanaan pendudukan itu, kemudian memiliki pandangan
yang positif akan peranan Jepang dalam pemeliharaan keamanan Asia setelah
perang. Dengan makin intensifnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Ui
Soviet, politik Amerika terhadap Jepang makin baik. Tahun 1948 perang saudara
di Cina cenderung dimenangkan pihak komunis. Hal ini nampaknya telah mendorong
Amerika Serikat untuk sepenuhnya mendukung Jepang sebagai negara yang memiliki
kemungkinan terbaik ikut memelihara keamana Asia dengan menjadi kekuatan
penyeimbang terhadap komunisme. Sejalan dengan politik baru ini, Amerika
Serikat tidak hanya mengusahakan kebijaksanaan ekonomi yang lebih baik, tetapi
juga mulai melakukan langkah untuk mengakhiri pendudukan.
Mula-mula Amerika Serikat menghadapi beberapa keberatan dari para
sekutunya, namun pada akhirnya dapat berhasil mengajak mereka untuk hadir pada
meja perundingan. Berkat pengaruh tersebut telah diselenggarakan Konfersensi
Perdamaian San Fransisco pada bulan September 1951, dan pada bulan April tahun
derikutnya dengan resmi pendudukan pun berakhir. Kenyataan bahwa Amerika
Serikat yang membentuk kebijaksanaan pendudukan dan memulihkan kedaulatan
Jepang, telah menentukan kerangka ekonomi Jepang dalm periode pasca perang baik
dalm negeri ataupun secara internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Deliarnov.
2007. Perkembangan Pemikiran Ekonomi.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
2. Ebenstein,
William. 2006. Isme-isme Yang Mengguncang
Dunia. Yogyakarta. Narasi. PT Agromedia Pustaka.
3. Engels,
Frederick. 2006. Tentang Kapital Marx.
Bandung. CV Ultimus.
4. Husain
Pontoh, Coen. 2005. Malapetaka Demokrasi
Pasar. Yogyakarta. Resist Book. CV Langit Aksara.
5. Kunio,
Yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi
Jepang. Jakarta. PT Gramedia.
6. Lubis,
Nina H. 2008. Metode Sejarah.
Bandung. Satya Historika.
7. Magnis,
Franz-Suseno. 2005. Dalam Bayang-bayang
Lenin. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
8. M.
C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia
Modern 1200 – 2008. Jakarta. Palgrave.
9. Notosusanto,
Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia
V. Jakarta. Balai Pustaka.
1. Syam,
Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat
(Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta.
PT Bumi Aksara.
1. Vlekke,
Bernard H. M. 2008. Nusantara Sejarah
Indonesia. Jakarta. KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ).